Jumat, Juli 20, 2012

menentukan awal Ramadhan


Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
  1. Melihat hilal ramadhan.
  2. Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Melihat Hilal Ramadhan
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ، فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga  puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”[3] Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab. Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan  bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama  salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang menguasai ilmu ini  kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka? Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10] agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout (meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah nampak di  langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan. Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal. Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan, “Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka. Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa, mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas. Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar. [2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.
[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.
[10] Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.
[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92 dan Majmu’ Al Fatawa, 25/114-115.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
[16] Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan selaku anggota.

Kamis, Mei 14, 2009

Aku Bahagia Menjadi Wanita

emak Itulah salah satu yang terbersit dalam hati ketika membaca kisah hidup Rasulullah saw. di antara kisahnya yang agung adalah kisah mesin penggiling yang berjalan sendiri

Kisah ini ada dalam buku mukzizat Rasulullah saw. Suatu hari Rasulullah melihat Fatimah menangis karena rasa lelah menggiling biji-biji gandum menjadi tepung.

Atas izin Allah, Rasulullah meminta penggilingi tu berjalan sendiri menggiling biji gandum. Sampai Rasulullah memintanya berhenti menggiling. Berbahagialah engkau wahai batu karena kau akan dijadikan batu untuk membangun istana Fatimah di Surga.

lalu Rasulullah saw menatap fatimah,

Allah SWT bisa  menjadikan penggiling ini berjalan sendiri, atas kehendak-Nya, tapi tidak dijadikan demikian karena Allah menghendaki kebaikan yang banyak untukmu, Fatimah,

Sungguh, wanita manapun sepertimu yang menggiling biji gandum menjadi tepung untuk dijadikan makanan untuk suami dan anak-anaknya, maka setiap biji gandum adalah penghapus keburukan-keburukannya.

Bahgianya Fatimah dan wanita-wanita sepertinya, karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan pekerjaan wanita dalam rumah tangganya. Wallohu’alam

Rabu, April 29, 2009

Hak-Hak Anak kita


Apa saja hak anak atas diri kita?
Mungkin sebagian akan saya tuliskan di sini:
1 Firman Allah Ta’ala,
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:233)
Pada ayat di atas disebutkan hak anak atas penyusuan.
2. Firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim:6)
Pada ayat di atas dinyatakan hak anak atas pengajaran yang hak dan yang batil untuk menjaganya dari api neraka. Sekaligus hak anak atas penjagaan pengaruh negative dari luar.
3. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut kemiskinan.” (Al Isra: 31)
Ayat di atas menggambarkan hak anak atas perlindungan.
4. Rasulullah Saw bersabda,
“seorang anak tergadaikan dengan (kambing) aqiqah yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh kelahirannya, ia diberi nama pada hari tersebut, dan rambutnya dicukur “(Diriwayatkan para pemilik Sunan dan At Tirmidza men-shahih-kan hadist ini)
“Fitrah itu ada lima: Khitan, mencukur rambut di sekitar kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu di ketiak.” (Diriwayatkan Jama’ah)
Hadist tersebut menggambarkan hak anak atas kesehatan dan kebersihan.
5. Rasulullah Saw bersabda
“Ajarilah anak tentang shalat pada usia tujuh tahun dan pukul mereka jika mereka tidak mengerjakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkan mereka dalam tempat tidur.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At Tirmidzi. At Tirmidzi meng-hasan-kan hadist ini dengan sanadnya)
Dalam hadist ini tergambar hak anak akan pendidikan yang terencana dan kemandirian. Mengamati ayat-ayat di atas tergambar dalam benak saya, bahwa tugas utama orangtua adalah menyelamatkan anaknya dari api neraka melalui pendidikan yang baik, terencana melalui tahapan yang jelas, tegas bertanggung jawab, disertai perlindungan yang nyaman.Indah ya, tapi prakteknya, sungguh sulit. Balik lagi deh, namanya juga ibadah selalu ada ujiannya.Wallohu ‘alam

Kamis, April 23, 2009

Berniaga dengan para Malaikat

Fathimah Al Zahra,istri Ali Bin Abi Thalib didatangiseorang pengemis yang meminta sedekah.. Ketika itu, dia hanya mempunyai 50 dirham. Fathimah pun memberikan setengah uangnya kepada pegemis itu. Setelah mendapatkan 25 dirham, si pengemis pergi kembali.
Di tengah jalan, si pengemis bertemu dengan Ali bin Abi Thalib. Kemuadian Ali bertanya kepadanya, “Berapa uang yang diberikan Fathimah kepadamu?”
“Aku diberi 25 dirham,”jawab si pengemis sejujurnya.
Ketika Ali mengetahui pengemis itu hanya diberi 25 dirham, dia menyuruh si pengemis dating kembali ke rumahnya. Si pengemis pun kembali ke rumah Ali.. Lalu, Fathimah memberikan sisa 25 dirhamnya kepada si pengemis. Uang sebanyak 50 dirham persediaan keluarganapun disedekahkan semuanya kepada pengemis tadi.
Selag beberapa hari, dating seorang hamba Allah menjumpai Ali dengan membawa seekor unta. Orang itu mengadu dalam kesusahan dan ingin menjual untanya. Ali segera menyatakan kesanggupan untuk membelinya. Meskipun ketika itu, dia sama sekali tidak memiliki uang. Dia berjanji akan membayar harga unta dalam beberapa hari ke depan.
Dalam perjalanan pulang, Ali berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin membeli untanya dengan harga yang lebih tinggi daripada harga sebelumnya. Akhirnya, Ali menjual unta itu kepadanya.
Setelah mendapat uang, Ali pun membayar utangnya kepada penjual unta.
Beberapa hari kemudian, Rasulullah Saw. Berjumpa dengan Ali bin Ali Thalib. Lalu beliau bertanya, “Wahai Ali, tahukah engkau, siapakah yang menjual dan membeli unta itu?” Tanya Rasul menyelidik.
“Tidak tahu, wahai Rasulullah,” jawab Ali yangmemang tidak tahu. Rasulullah Saw. Pun menjelaskan bahwa yang menjual unta adalah Malaikat Jibril a.s. dan yang membelinya adalah Malaikat Mikail a.s. Sedangka, selisih harga penjualan yang merupakan keuntungan Ali adalah rezeki Allah Swt.

(Sumber: 100 kisah Islami Pilihan, DARMizan)

Minggu, April 12, 2009

toilet training


Tips Toilet Training

Berikut, dikutip dari buku Understanding Childrennya Lesia Oeterreich, tips toilet training untuk anak kita:
Langkah 1
Jangan terlalu memaksakan si kecl. Toilet training adalah proses yang memerlukan waktu tak sama pasa setiap anak. Ada anak belajar menggunakan toilet pada umur 2 tahun, ada juga yang sanggup pada umur 3,5 tahun.
Langkah 2
Tunjukkan pada anak yang seharusnya dia lakukan dalam kamar mandi. Idealnya, ayah mangajari anak laki-laki dan ibu mengajari anak perempuan.
Langkah 3
Gunakan kata yang biasa digunakan untuk menyebutkan bagian-bagian tubuhnya serta mengistilahkan BAB dan BAK
Langkah4
Bantu anak mengenali timbulnya keinginan buang air
Langkah 5
Sediakan potty chair untuk berlatih. Ini dapat memberinya ide bagaimana seharusnya alat Bantu tersebut seharusnya digunakan.
Langkah 6
Membacakan potty books buat si kecil. Hal ini membantunya mengerti proses pembuangan dan membantunya tahu anak lain juga belajar menggunakan potty.
Langkah 7
Permudah proses belajar si kecil dengan menggunakan celana yang mudah dibuka.
Langkah 8
Jika si kecil perlu potty-nya, Bantu dia membuka celana, mendudukannya di atas potty, dan tungguilah
Langkah 9
Setelah 4-5 menit Bantu si kecil berdiri. Beri penghargaan dengan pelukan. Jika belum berhasil, besarkan hatinya dengan katakana dia bias mencobanya di lain waktu.
Langkah 10
Basuh dan bersihkan si kecil dengan lembut. Jangan lupa mengajari selalu mencuci tangan dengan sabun setelah menggunakan potty.

Mengenali anak-anak sudah siap untuk toilet training:
Anak sudah:
Bisa mengikuti instruksi sederhana, misalnya melepas pakaian (celana)
Tidak mengompol setidaknya 2 jam dalam sehari
pergi ke toilet sendiri kemudian membuka dan memakai celananya sendiri.
tidak mengompol waktu tidur siang
merasa tidak nyaman jika diapernya kotor
kelihatan tertarik untuk menggunakan toilet atau potty chair
BAB- nya cenderung teratur

Sabtu, Februari 14, 2009

MEMANG BERBEDA

Wanita VS laki-laki dalam shalat jenazah
Kenapa imam shalat harus berdiri di depan perut wanita yang jadi jenazah saat shalat jenazah? Begitulah, pikiran iseng yang terus menggelayut tanpa jawaban yang pasti dalam kepalaku. Akhirnya aku cari sendiri dengan dugaan yang hampir terasa sebagai pembenaran. Ya, karena organ yang paling mulia pada seorang wanita adalah perut sehingga dalam saat-saat terakhirnya berinteraksi dengan manusia, manusia memberi penghormatan dengan berdiri shalat di depan perutnya. Apakah secara teori keislaman dugaan itu benar? Tau ya.... Tapi mari kita bicara hikmah saja. Hikmah atas perbedaan posisi imam dalam menyolatkan jenazah pria dan jenazah wanita.
Kenapa pada jenazah laki-laki imam berdiri di depan kepala sang jenazah? Mungkin, karena pada laki-laki organ yang paling istimewa adalah kepala. Yangmana di sana terletak tempat untuk mengolah logika, mengolah keputusan, kebijaksanaan. Hal ini mungkin juga karena laki-laki kerap sebagai citra pemimpin sehingga membutuhkan porsi berpikir yang jauh lebih banyak dibanding aktifitas lainnya. Kepala yang kemudian menjadi pijakan pertamanya sebagai kepala keluarga,
Dan wanita memiliki organ istimewa perut yangmana di dalamnya terletak rahim. Tempat bersemayamnya kehidupan penerus generasi baru, tempat aktifitas berdenyutnya nadi-nadi perdana seorang manusia, tempat terjadinya proses kehidupan baru yang agung. Rahim sebagai pijakan pertamanya untuk energi kasih sayang sebagai seorang istri, ibu (setidaknya dua peran ini yang membedakannya dengan laki-laki)
Lalu, benarkah dugaan saya, bahwa wanita istimewa karena rahimnya, dan laki-laki istimewa karena akalnya? Adilkah statemen itu, bahwa laki-laki dan wanita itu memang memiliki perbedaan signifikan atas fitrah dirinya masing-masing.Wallohu 'alam
Oleh: Rinna Rahmawati

Rabu, Januari 28, 2009

cinta itu..



Cinta itu...
Salah satu moment spesial seorang ibu adalah melihat bayi nya saat tertidur (benar ga?) apalagi kalo tidurnya pulas banget. Lucu, damai,...lemah...polos. Aku juga demikian, satiap saat, walaupun udah lebih dari tiga tahun, melihat azka lagi tidur itu memberi desiran kasih sayang yang sangat spesial, seolah, pinjam nyanyian Gita Gutawa, tak perlu keliling dunia asal ada anakku. He.he
Ga ada yang ga cinta sama anak, ya kan? Tapi, kadang cinta itu bertabrakan dengan... sesuatu yang aku namakan memberi tanpa batas. Katanya, bukan cinta kalo kita melimpahkannya. Bingung?
Suatu hari, saat perang Afganistan, seorang Bapak membawa anaknya ke medan perang. Sang anak (yg baru 10 tahun) ketakutan saat desingan demi desingan peluru terdengar olehnya. Sang bapak (yg bisa membaca batin sang anak) berkata:
“Nak, pada setiap peluru itu sudah ada namanya.
Kalo tidak ada namamu, percayalah, kau tak akan pernah dikenai peluru-peluru itu.
Namun, kalau di sana ada namamu dan kau harus mati, Nak, sebentar lagi kau akan ke surga. Dan Bapak bangga sekali”
Apakah sang Bapak mencintai anaknya?
Dalam sebuah bus, naik seorang ibu dan anak (kira-kira 7 tahun). Permen yang dipegang sang anak terjatuh dan anak itu meminta bantuan pada sang ibu. Sang ibu menolak. Katanya, kalo ga ada gimana? Ayo kamu punya tangan sendiri.
Apakah sang ibu mencintai anaknya?
Padahal bapak yang di Afganistan bisa menyuruh anaknya untuk bersembunyi, padahal ibu yang di bus itu bisa membantu mengambilkan anaknya permen. Tapi, ya itulah... kadang cinta bersebrangan dengan ekspresinya.
Bukan cinta, katanya, ketika kita menuruti semua kehendak anak
Bukan cinta, katanya, ketika kita selalu membantu aktivitas anak
Bukan cinta, katanya, ketika kita tidak pernah membiarkan anak untuk malakukan kesalahan demi pembelajaran hidup
Bukan cinta, katanya, ketika kita memaksakan anak kita sebagaimana yang kita inginkan